BENARKAH PANEMBAHAN GIRILAYA CIREBON MENANTU SUNAN AMANGKURAT I MATARAM?
Tulisan ini bermaksud mengajak peminat sejarah untuk mencermati ulang catatan yang sudah menjadi pandangan umum bahwa Panembahan Girilaya Penguasa Cirebon menantu Penguasa Mataram Sunan Amangkurat I sebagaimana ditulis sejumlah literatur. Benarkah Panembahan Girilaya adalah Menantu Amangkurat I Mataram? Meskipun sederhana hanya soal kekerabatan Raja Cirebon dan Mataram, tetapi hal ini berpengaruh luas terhadap pola penulisan sejarah kedua kerajaan ini.
Diceritakan Panembahan Girilaya menjadi Panguasa Cirebon menggantikan kakeknya Panembahan Ratu I Tahun 1649. Sang Ayah Pangeran Dipati Adiningkusuma Sedang Gayam meninggal sebelum naik tahta, sehingga gelar Adining Kusuma kemudian disematkan pada Panembahan Girilaya. Setahun setelah pengangkatan sebagai Raja tepatnya 1650 Panembahan Girilaya dan dua putranya Mertawijaya dan Kertawijaya ditahan di Mataram. Sedangkan putra ketiga Wangsakerta menggantikan posisi menjalankan pemerintahan di Cirebon.
Sumber cerita seperti Naskah Mertasinga, Purwaka Caruban Nagari, Negara Kertabumi, Sejarah Rante Martabat Tembug Wali, Sejarah Cirebon Naskah Kraton kacirebonan, Babad Cirebon Carub Kandha Naskah Tangkil, dan sumber modern seperti Sejarah Tatar Sunda Nina Lubis, Kerajaan Cirebon 1479-1809 Unang Sunarjo, Sejarah Mataram Soedjipto Abimanyu, Kronika Peralihan Nusantara Bayu Widyatmoko, Tinjauan Kritis Sejarah Banten Husein Jayadiningrat, Polemik Naskah Wangsakerta Edi S Ekajati menceritakan bahwa:
Sultan Cirebon Pangeran Abdul Karim Panembahan Girilaya putra Panembahan Sedang Gayam lahir 1601 menikah dengan Putri Sunan Amangkurat I sebelum atau sekira 1650. Dari pernikahan ini peputra (1) Syamsudin Martawijaya, (2) Badruddin Kartawijaya dan (3) Wangsakerta. Panembahan Girilaya juga memiliki beberapa permaisuri dan putra-putri antara lain Pangeran Alas Ardisela, Pangeran Kusuma Jaya, Ratu Toya Marta, Pangeran Nataningrat, dan Pangeran Jaya Negara.
Sejak 1650 hingga wafat 1662 Panembahan Girilaya berada di Mataram. Kedua putranya Martawijaya dan Kartawijaya baru dibebaskan 1677 atas campur tangan Banten. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan Cirebon dijalankan oleh putra ketiga yakni Pangeran Wangsakerta. Setelah pembebasan oleh Sultan Ageng Banten, Martawijaya diangkat menjadi Panembahan Sepuh dan Kertawijaya sebagai Panembahan Anom. Sedangkan Wangsakerta menjadi Panembahan Agung Cirebon. Sejak itu hingga Perjanjian Protektorat VOC tahun 1681 penguasa Cirebon di bawah perwalian Kesultanan Banten.
Selain Wangsakerta selama penahanan hingga pembebasan dua putra Girilaya 1677, tercatat dua penguasa Cirebon dari Mataram yakni (1) Tumenggung Martanata yang dieksekusi Amangkurat I tahun 1662 karena skandal pembelian kuda Persia VOC di Batavia, (2) Tumenggung Martadipa yang saat penaklukan Pesisir Utara Jawa oleh Trunojoyo 1677 harus menandatangani tujuh pasal perjanjian damai dengan Sindu Kerti dan Langlang Pasir. Menyusul sebelumnya Panembahan Wirasuta Bupati Losari-Brebes-Tegal meletakkan senjata pada laskar pimpinan paman Trunojoyo tersebut. Tumenggung Martadipa kemudian dikenali sebagai Raksanagara sedangkan Panembahan Wirasuta tewas ditangan Dipati Martapura di Jepara atas perintah Amangkurat II Minggu 17 Januari 1678. Sehari setelah peristiwa berdarah atau Senin 18 Januari 1678, dan karena tidak memiliki putra Panembahan Wirasuta digantikan oleh kerabatnya Dipati Aria Suralaya untuk Bupati Losari-Brebes. Dua adiknya yang lain masing-masing Tumenggung Raksanagara diangkat Bupati Tegal dan Sumawijaya sebagai Bupati Pemalang
Sumber lokal dan Eropa khususnya Belanda menyebutkan Sunan Tegal Wangi Amangkurat I putra Sultan Agung lahir 1619 dengan nama Raden Mas Sayidin dan sebutan lain Jimbus atau Rangkah yang berarti semak berduri. Putra kedua dari permaisuri kedua Raden Ayu Wetan ini menjadi Putra Mahkota dengan gelar Pangeran Aria Mataram. Periode 1624-1634 atau saat usia 5-15 tahun dididik oleh Tumenggung Sepuh Mataram, yang kemungkinan Tumenggung Wiraguna, Danupaya atau Sura Agul. Di usia 24 tahun pada 1643 Amangkurat I menikah dengan Putri Pangeran Pekik Surabaya Kanjeng Ratu Pangayun atau Ratu Kulon. Putra pertama mereka meninggal saat masih balita. Sedangkan putra kedua Raden Mas Rahmat lahir sekira 1645-1646, yang 40 hari setelah kelahirannya sang Ibu wafat. Raden Mas Rahmat menjadi penguasa Mataram dengan gelar Amangkurat II.
Tinjauan dan ejaan
Dengan mengeja lebih cermat terhadap informasi seperti (1) Tahun kelahiran dan pernikahan Amangkurat I dan Pangeran Girilaya, (2) Kelahiran dan usia Putri Amangkurat I di tahun 1650 dan (3) Usia ketiga putra Girilaya yang juga cucu Amangkurat I saat penahanan di Mataram, maka kita dapat meninjau sejauhmana informasi ini dianggap tepat. Atau setidaknya dapat kita pilah antara fakta dan opini sejarah yang terkelirukan dalam penulisan tersebut. Perkeliruan data dan persepsi dapat saja timbul karena kurang jeli saat menelisik informasi, atau karena distorsi pemahaman pada proses penulisan. Untuk itu penting sikap terbuka dan rasional terhadap tafsir alternatif pada periwayatan semacam itu.
Sejumlah pertanyaan dapat diajukan seputar pandangan bahwa Panembahan Girilaya Cirebon menikah dengan putri Amangkurat I Mataram sebelum atau pada tahun 1650. (1) berapa usia Martawijaya dan Kertawijaya pada saat ditawan bersama orangtuanya tahun 1650, dan Berapa usia Wangsakerta saat mengganti kedudukan sebagai penguasa Cirebon? Jika diasumsikan Wangsakerta berusia 20 tahun, kertawijaya 22 tahun dan Martawijaya 24 tahun artinya mereka lahir di antara 1626 hingga 1630. (2) di tahun atau usia berapa Panembahan Girilaya dan Putri Amangkurat I menikah? Jika misalnya di tahun 1650 sudah memiliki putra bungsu berusia 20 tahun, maka pernikahan mereka semestinya tidak kurang dari 1630. Ketiga selama di Mataram hingga wafatnya, kemana putra putri Panembahan Girilaya lainnya yang menurut sumber Cirebon memiliki lebih dari sepuluh anak seperti Pangeran Alas Ardisela dan Pangeran Sukmajaya? Kenapa pula yang ditahan hanya Mertawijaya dan Kertawijaya. lainnya tidak disebutkan.
Untuk mengeja lebih lanjut dapat kita tinjau kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
(1) Jika penahanan Mataram sejak 1650 dan Pangeran Girilaya membawa kedua putra remajanya sebagaimana banyak diceritakan maka sesungguhnya siapa Ibu kedua pangeran tersebut? Di tahun ini Putri Amangkurat I yang dianggap sebagai ibu Ketiga Pangeran Cirebon, diperkirakan berusia kurang dari tiga tahun. Sementara Sang Ayah Sunan Amangkurat I baru menikah tujuh tahun sebelumnya. Dan di tahun 1650 usia Amangkurat baru 31 tahun. Saleh Danasasmita dalam Polemik Naskah Wangsa Kerta menyebutkan Kertawijaya (Sultan Anom) berbeda Ibu dengan Martawijaya (Sultan Sepuh) dan Wangsakerta. Perkiraan Danasasmita ini konon berasal dari naskah wawacan yang beredar terbatas di lingkungan kraton di Cirebon.
(2) Putra pertama Amangkurat I lahir meninggal pada 1644 atau 1645. Putra kedua yakni Raden Mas Rahmat kelak menjadi Amangkurat II lahir 1646 atau 1647, yang tidak lama setelah kelahirannya sang Ibu wafat. Jikapun kemungkinan punya putri yang kemudian dinikah Pangeran Girilaya, maka perkiraan lahir setelah 1646. Jadi secara logika mungkinkah di tahun sebelum atau sekitar 1650 Panembahan Girilaya menikah dengan Putri Amangkurat Sunan Tegal Wangi yang berusia di bawah Tiga tahun?
(3) Jika penahanan Raja Cirebon oleh Mataram tahun 1650 siapakah sesungguhnya Raja Cirebon yang dimaksud? Pangeran Adiningkusuma Sedang Gayam putra Panembahan Ratu I ataukah Pangeran Giri Laya putra Panembahan Sedang Gayam cucu dari Panembahan Ratu I. Sumber-sumber Cirebon selalu menyebutkan bahwa setahun setelah pengangkatan sebagai penggati Panembahan Ratu I tahun 1649 Pangeran Girilaya ditahan di Mataram beserta kedua putranya. sedangkan putra bungsunya tetap di Cirebon menjadi pengganti kedudukan ayahnya sebagai raja
Peneliti dan Sejarawan Belanda HJ De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram dengan mengutip Daghregister menceritakan rencana pernikahan yang gagal antara Putri Raja Cirebon dan Putra Mahkota Mataram Pangeran Dipati Anom Tahun 1653. Putra Mahkota melamar ke Pedaleman Raja Cirebon tetapi rencana pertunangannya batal disebabkan ketidakcocokan. Catatan De Graaf mengisyaratkan tahun 1653 justru sebagai pernikahan antara Putra Raja Cirebon dengan Putri Sunan Mataram .
Mengutip sumber utama Catatan Kompeni Daghregister, peneliti dan Javanolog ini menyebutkan sebelum 2 April 1653 Residen Barent Volsch mendapat kabar Sunan Mataram akan mengawinkan putranya dengan Putri Raja Cirebon. Volsch khawatir akan mengeluarkan biaya besar karena diundang pada perhelatan tersebut. Setelah perbincangan alot rencana pernikahan batal. Meskipun begitu pembicaraan dan rencana besar pernikahan Putra Raja Cirebon dan Putri Sunan Mataram terus berjalan yang diperkirakan tinggal 12 hari lagi.
Satu tahun sebelumnya 1652, rencana pernikahan antara Putra Raja Mataram dengan Putri Sultan Banten juga gagal karena Banten menolak permintaan Mataram yang mensyaratkan salah seorang anak atau kerabatnya tinggal di istana Mataram. Saat itu memang salah satu cara Mataram mengkooptasi kekuasanaan raja daerah melalui pernikahan putra putri kerajaan dibarengi syarat keharusan tinggal di Mataram. Jika menerima persyaratan itu kearajaan daerah menjadi Vatsal Mataram.
Terkait penjelasan Graaf dalam Disintegrasi Mataram kita dapat mengeja sebagai berikut;
(1) Peristiwa kegagalan pernikahan antara Putra Amangkurat I dengan Putri Raja Cirebon apakah terjadi pada 1653 atau setelah 1661? Tahun 1653 Raden Mas Rahmat masih 7 (tujuh) atau 8 (delapan) tahun, dan belum bergelar Pangeran Dipati Anom. Gelar Pangeran Dipati Anom baru disematkan 1661 saat menjadi Putra Mahkota. Sebaliknya sumber-sumber lokal yag diperkuat sumber Belanda, menceritakan pada periode tersebut Sunan Amangkurat I memerintahkan para punggawa kerajaan mencari wanita pengganti permaisuri yang wafat setelah melahirkan Raden Mas Rahmat. Jadi rencana pernikahan di tahun 1652 dengan Putri Sultan Banten, dan 1653 dengan Putri Raja Cirebon, sesungguhnya rencana pernikahan untuk Sunan Amangkurat I sendiri ataukah putranya? Tahun 1653 usia Sunan Amagkurat I sekira 34 tahun, sedangkan Raden Mas Rahmat belum genap 9 tahun.
(2) Jika tahun 1653 terjadi pernikahan antara Putra Raja Cirebon dan Putri Mataram, Siapakah Putra Raja Cirebon yang dimaksud? Apakah Pangeran Girilaya Bin Pangeran Dipati Sedang Gayam, ataukah Putra Pangeran Girilaya cucu Dipati Sedang Gayam seperti Pangeran Alas Ardisela ataupun lainnya? Dan Jika pun pernikahan tersebut antara Putra Raja Cirebon maka Putri Raja Mataram tersebut tentu bukanlah anak perempuan dari Amangkurat Sunan Tegal Wangi yang diduga masih Balita. Bisa saja putri tersebut adalah anak perempuan bawaan dari istri selain Ratu Pekik.
(3) Jika yang disebut Sang Putra adalah Pangeran Giri Laya, dan Putri Raja Cirebon adalah adik atau kakaknya maka apakah Raja Cirebon atau Sang Ayah termaksud adalah Panembahan Dipati Sedang Gayam? Jika demikian artinya Pangeran Dipati Sedang Gayam atau Dipati Adiningkusuma I periode 1653 jumeneng dan bertahta sebagai Raja Cirebon menggantikan Panembahan Ratu I. Berbeda dengan riwayat yang menganggap Pangeran Dipati Sedang Gayam meninggal tanpa bertahta. Bahkan dalam catatan silsilah Cirebon dengan sumber semacam itu Dipati Sedang Gayam menjadi hanya semacam sisipan rangkaian silsilah belaka.
(4) Dalam hal ini jika pernikahan terjadi tahun 1650 atau 1653 maka perkawinan tersebut antara Pangeran Girilaya dengan Putri Mataram tetapi bukan anak perempuan dari Amangkurat I. Sebaliknya jika pernikahan terjadi antara Putri Raja Cirebon dan Putra Sunan Mataram, maka Sunan Mataram dimaksud adalah Sultan Agung. yang pada tahun tersebut sudah wafat. Mengingat putra Amangkurat I atau Raden Mas Rahmat masih 7 atau 8 tahun.
(5) Kemungkinan lain adalah di awal penahanan tahun 1650 sebenarnya Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta belum lahir. Sehingga riwayat bahwa mereka dibawa bersama dalam penahanan Girilaya patut diragukan. Begitupun tentang posisi Wangsakerta menggantikan posisi orang tuanya sebagai penguasa Cirebon
(6) Informasi penting dalam riwayat yang tidak boleh terluputkan dalam mengeja peristiwa ini adalah:
(a) Tahun 1601 kelahiran Panembahan Girilaya Cirebon, (b) Tahun 1619 kelahiran Sunan Amangkurat I Mataram, (c) Tahun 1643 pernikahan pertama Amangkurat I dengan Putri Pangeran Pekik, (c) Tahun 1644 kelahiran dan kematian Putra pertama Amangkurat I (d) Tahun 1645 atau 1646 kelahiran Raden Mas Rahmat putra kedua Amangkurat I yang kelak menggantikannya sebagai Amangkurat II, (e) Tahun 1645 Sultan Agung wafat dan penobatan Pangeran Aria Mataram menjadi Amangkurat I, (f) Tahun 1650 penahanan Panembahan Girilaya bersama kedua putranya, dan pengisian jabatan pemerintahan Cirebon oleh Wangsakerta putra Panembahan Giri Laya-Putri Amangkurat I (g) Tahun 1662 kewafatan Panembahan Girilaya di Mataram.
Penutup
Mengeja ulang sejarah meskipun tidak dipretensikan untuk mencari simpulan baru atas apa yang telah menjadi persepsi umum tentang posisi Pangeran Giri Laya menikahi Putri Amangkurat I sebelum atau 1650, namun setidaknya dapat menstimulus peminat kajian kritis dalam memilah data dan opini guna penggalian informasi lebih lanjut. Sikap kritis juga diharapkan membuka cakrawala baru untuk pengembangan subjek-subjek baru penelitian kesejarahan khususnya menyangkut relasi politik dan pertautan silsilah keluarga Kerajaan Cirebon-Mataram. Selamat Mengeja* (wallahu A'lam)
Posting Komentar untuk "BENARKAH PANEMBAHAN GIRILAYA CIREBON MENANTU SUNAN AMANGKURAT I MATARAM?"