Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CIREBON BUKAN CARUBAN NAGARI, KERAJAAN DI TATAR SUNDA (1)

Cirebon

    Entah sejak kapan istilah Caruban Nagari mulai digunakan untuk menyebut nama kerajaan dan entitas sosial budaya masyarakat wilayah Cirebon, seperti banyak kita jumpai akhir-akhir ini. Penggunaannya tidak terbatas pada lingkungan sastra atau seni tetapi meluas hampir menyentuh ruang ilmiah seperti pada karya akademis di kampus. Media juga cenderung  mengadopsi penggunaan frasa ini dibanding istilah Pakungwati sebagai pengganti sinonim dari Cirebon. Itu sebabnya muncul anggapan bahwa Caruban Nagari dan bukan Kerajaan Cirebon, sebagai nama genuine  kerajaan yang dibangun oleh Mbah Kuwu Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati ini. 

    Penyebutan Caruban Nagari sebenarnya tidak cocok dengan pola kalimat yang lazim menggunakan struktur DM (Diterangkan-Menerangkan) seperti bahasa Indonesia, tetapi  dalam karya sastra semacam kidung atau novel mungkin dirasa lebih mengena dengan citarasa seni. Suluk Gunung Jati misalnya. Novel sejarah karya E Rokajat Asura ini meskipun tidak  sepenuhnya berhasil mengganti Cirebon dengan Caruban, tetapi mencoba menguatkan istilah Caruban dibanding Cirebon. Ada seratusan  lebih kata Caruban  digunakan dalam karya penulis Tafsir Wangsit Siliwangi ini, sedangkan Cirebon dan variannya muncul hanya belasan saja. Disini muncul istilah Caruban Larang, Negeri Caruban, Bumi Caruban, Kota Caruban, Pemimpin Caruban dan Caruban Girang. 

    Begitu pula Babad yang ditulis Raden Teja Subrata, meskipun isinya nyaris tidak menyebut  kata Caruban untuk mengganti Cirebon, tetapi Badan Komunikasi, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon menerbitkannya di bawah judul  Sejarah Carruban Kawedar.

   Kenapa masyarakat  termasuk peminat sejarah tertarik mempopulerkan pemakaian istilah Caruban  untuk menyebut Kerajaan atau Kawasan Cirebon? Tulisan ini mencoba mengeja dan menelisik  riwayat peristilahan sehingga menjadi semacam opini sejarah.

Asal Usul dan Kirata Bahasa

    Oleh babad umumnya Cirebon diasumsikan dari bahasa Sunda Cai yang berarti air dan rebon yakni udang kecil. Suleman Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon menyebutkan Cai dan Rebon berkaitan dengan kegiatan produksi terasi oleh Pangeran Cakrabuana di masa awal pendirian pedukuhan. Sebenarnya tidak tepat mengasal-usulkan Ci pada Cirebon sebagai asal kata Cai atau air. Terasi memang berbahan baku rebon, tetapi utuk air rebon sebagai salah satu bahan terasi masyarakat sudah memiliki istilahnya sendiri yaitu petis. Lagi pula sebutan Cirebon lebih awal disematkan untuk Cirebon Girang yang merujuk pada kawasan perbukitan mendahului Cirebon Larang yang menunjukkan wilayah pesisir. 

    Di Jawa Barat dan Banten terutama pada masyarakat berbahasa Sunda  kata Ci lazim digunakan untuk awalan nama tempat. Tetapi jika Ci diasumsikan cai atau air  maka kita akan kesulitan memahami arti nama-nama daerah seperti Cikadut, Cikalong, Cikuya, Cigobang, Cimaung, Cibeo, Cidempet, Cimacan, Cipaku dan sebagainya.  Ci  pada nama tempat  tersebut lebih mudah dipahami sebagai Si sejenis kata sandang untuk menjukkan Benda, Subjek ataupun  Objek. Ci atau Si setara dengan al untuk menandai isim dalam bahasa Arab  atau The pada bahasa Inggris. 

    Secara psikologis masyarakat terbiasa mengaitkan dan mengasosiasikan nama tempat dengan keberadaan benda yang sudah dikenali atau karena peristiwa khusus yang kemudian menjadi sebutan satu kawasan. Karenanya Cikadut  lebih tepat diartikan sebagai Si Kadut bukan Cai Kadut, Cigobang dimaknai  Si Gobang  bukan Cai  Gobang,  Cikalong berarti Si Kalong, bukan Cai Kalong dan seterusnya. Begitu pun Cirebon lebih cocok sebagai Si Rebon bukan cai rebon. Sekarang ini di Cirebon masih ada tempat-tempat berawalan  Ci dengan  pelafalan Si seperti pada Sitopeng, Sicalung, Sidomba, Sigendeng dan lain-lain.

    Sementara itu kemunculan istilah Caruban Nagari yang mengidentikkannya dengan Kerajaan Cirebon tidak lepas dari Carita Purwaka Caruban Nagari kitab yang dinisbatkan sebagai karya Pangeran Aria Cirebon alias Pangeran Adi Wijaya putra bungsu Sultan Kasepuhan I. Buku yang konon ditulis tahun 1720  ini pada Pupuh II menyebutkan, nama  Cirebon pada awalnya adalah Sarumban lalu diucapkan Caruban akhirnya jadi Carbon (Cirebon). Sebutan lainnya Puseur Bumi dan Nagari Gede

    Pada Pupuh XI karya yang dipopulerkan oleh Atja dan Sulendraningrat tahun 1972 tersebut Caruban diartikan sebagai campuran atau perpaduan. Diduga dari dua tokoh inilah sejatinya mula pertama nama Cirebon atau Carbon diasosiasikan sebagai Caruban. Meskipun begitu hingga tahun 1984 Sulendraningrat masih lebih banyak berpegang pada sebutan Cirebon, seperti ditunjukkan pada Babad Tanah Sunda Babad Cirebon. Dari sekira dua ratusan kata untuk Cirebon, hanya dua kali Caruban digunakan. Itu pun muncul di Bab Catatan, dan Caruban sebagai sebutan untuk Peguron Krapyak Kaprabonan bukan dalam pengertian Kerajaan atau Kawasan Cirebon.

    Tepatkah mengidentikkan Kerajaan dan Kawasaan Cirebon dengan sebutan Caruban Nagari? Sebagai kirata bahasa pencocokkan seperti itu lazim dilakukan periwayat cerita rakyat dan sastra lisan. Tapi menyebutkan Cirebon dengan Caruban karena daerah dan masyarakatnya perpaduan berbagai etnis, bahasa dan agama memunculkan pertanyaan, Bukankah pada periode tersebut masyarakat di banyak tempat seperti Banten, Jakarta, Jepara, Demak dan Surabaya juga merupakan  percampuran berbagai etnis, bahasa, agama dan suku bangsa? Namun kota-kota tersebut tidak dinamai atau disebut Caruban.

    Karena berpatokan pada kirata bahasa yang keliru mempersepsi Cirebon sebagai Caruban inilah Tim penyusun Sejarah Tatar Sunda (1) salah menilai terhadap laporan Hurdt soal ekspedisi kependudukan di Pulau Jawa tahun 1678 dengan menuliskan ;

 "Pada Tahun 1678 Hurdt memimpin sebuah ekspedisi dari Jepara ke Kediri. Salah satu laporan yang dibuatnya berkaitan dengan jumlah penduduk beberapa tempat di Pulau Jawa. Dalam laporannya disebutkan bahwa penduduk daerah Caruban berjumlah sekitar 6.000 cacah, sedangkan daerah Pajajaran (Priangan?) berpenduduk sekitar 2.000 cacah. Masalahnya adalah darimana data demografis tersebut diperoleh Hurdt mengingat dia tidak melakukan kunjungan ke tempat itu"

    Tentu saja Caruban dan Pajajaran (kemungkinan Pajaran) dalam laporan Antonio Hurdt  adalah dua daerah di Madiun, bukan Cirebon dan Priangan di kawasan Pasundan. Dua kota itu menjadi rute lintasan ekspedisi Hurdt dari Jepara ke Kediri dalam rangka sensus penduduk tahun 1678.

    Di beberapa tempat seperti Kendal, Brebes dan Madiun juga di Cirebon kita jumpai penggunaan kata Caruban untuk nama desa atau area tertentu di suatu wilayah.  Tapi corak penamaan seperti  itu sama sekali tidak ada kaitan dengan asal usul seperti penamaan pada Cirebon sebagai  kerajaan. Begitu juga  sebutan Pakuwan atau Pakuwon yang tersebar di beberapa tempat di Cirebon tidak mesti memiliki asal-usul yang sama dengan sejarah penamaan Keraton Pakungwati ataupun Pakuan.

Asal Usul Alternatif Penamaan Cirebon

    Pada  salah satu tradisi pengajaran mistik Cirebon yang sanadnya terhubung kepada Syekh Wijayatullah Pangeran Cakrabuana, Sunan Gunungn Jati dan Sunan Kalijaga,  kata Cirebon tidak dilafalkan sebagai Caruban. Prosesi yang dibuka dengan tawasul kepada ketiga figur pendiri Cirebon  dan Sayyidatina Arbaiyyah dilanjut sejumlah aurod ini merupakan bagian dari teknik mendapatkan  futuh dan transmisi kebatinan khasanah mistik Cirebon. Wawacannya lebih mirip ikrar awal  sang salik tetapi mengandung semacam deklarasi penamaan Cirebon.  

    Semata-mata untuk keperluan mengeja sejarah  wawacan dengan sebutan penyinaran atau sejenis isyroqiyah ini disebutkan dalam artikel ini:

Bismillahirohmanirrohiim...

Cirebon Putih Sang Luguyung Putih

Kuncung Mengkilat Nama Ning Allah

Kang Nyakrawati Wiwitan Kersaning Allah

Sang Gumulung Mengkilat Sadurunge Banyu Langit

Sang Gumulung Putih Sawuse Wonten Bumi Langit

Ilang Galuh Wus Cirebon

Eling Galuh Wus Tumentas

Pangeran Ingkang Luwih Agung....

Kang Kersa Wonten Anging Kang Kersa

Ya Hu Ya Allah...


(bersambung)

4 komentar untuk "CIREBON BUKAN CARUBAN NAGARI, KERAJAAN DI TATAR SUNDA (1)"

enton 21 September 2022 pukul 05.02 Hapus Komentar
Menarik artikelnya. Mengupas secara mendasar. Seperti perkara remeh padahal penting. Ditunggu sambungannya. Penasaran.
Walid A Syaikhun 21 September 2022 pukul 11.45 Hapus Komentar
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Antique of Indonesia 30 September 2022 pukul 19.21 Hapus Komentar
Eja ulang, semoga menjadi eja-an yg disempurnakan
Walid A Syaikhun 3 Oktober 2022 pukul 08.38 Hapus Komentar
amiin..seperti menyempurnakan ejaan lama yang perlu dierbaharui. hatur nuhun