Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CIREBON BUKAN CARUBAN NAGARI, KERAJAAN DI TATAR SUNDA (2)

https://www.mengejaulangsejarah.com/

Penyebutan Cirebon juga dikaitkan dengan peristiwa heroik dan sosok Sayyid Abdul Qodir alias Pate Qedir tokoh perlawanan terhadap Portugis di Malaka. Penulis Suma Oreintal Tome Pires mengenali Pate Qedir berasal dari Cirebon dari peristiwa besar ini dan sebelumnya tahun 1511. Penghujung 1512 Sultan Malaka Mahmud Syah I bermaksud merebut kembali Malaka yang diduduki Portugis. Atas permintaan penguasa Malaka ini Sayyid Abdul Qodir atau Pate Qedir memimpin pasukan gabungan darat dari Jawa khususnya Demak dan Jepara. Sedangkan Sayyid Yunus atau Pati Unus dengan 100 kapal memimpin 10.000 pasukan laut gabungan dari Jawa dan Palembang. Portugis mendatangkan Laskar laut dari Goa di bawah komando Laksamana  Perez de Andrade memperkuat pertahanan benteng A Famosa. Pertempuran dahsyat ini menyisakan sebuah cerita sejarah. Pada moment menjelang bertempur dengan kekuatan penuh laskar Pate Qedir mencecap semacam syrup. Ramuan dengan bahan utama ekstrak buah Mundu atau Garcinia Dulcis ini disebut syirbun kata bahasa Arab untuk minuman dan yang meminumnya disebut syaribun. Serbat minuman berbahan gula merah dan asem Jawa seakar dengan syirbun.  Konon setelah menikmati syirbun mereka bertempur tanpa rasa takut dan tak hirau terhadap nyawa demi menyongsong kesyahidan. Gerakan pejuang kontra Portugis ini disebut sebagai tindakan amuk marugul (bahasa Sunda)

Selepas pertempuran dengan banyak korban, sisa pasukan Sayyid Abdul Qodir atau Pate Qedir kembali ke Jawa dan menetap terutama di kawasan sekitar Japura, Mundu dan  Gebang. Mereka kemudian dikenal sebagai orang-orang Syaribun atau Syarbun yang kemudian dilafalkan menjadi Cirebon dan Carbon. Saat ini jejak dan keterkaitan asal usul Pate Qedir, Syirbun, Carbon, Cirebon,  Malaka, Alas Mundu, Japura dan Amuk Marugul menghampar di kawasan Timur Cirebon. Peristiwa amuk marugul orang-orang Cirebon, Jepara dan Demak di Malaka mengingatkan pada legenda sejarah tentang penguasa Japura dengan sebutan Prabu Amuk Marugul. Belakangan amuk atau amok menjadi salah satu kata Melayu yang teradopsi dalam bahasa Inggris.

Penyebutan Cirebon dari Waktu ke Waktu

1) Suma Oriental karya Tome Pires merupakan salah satu sumber awal yang menyebut Cirebon. Pate Quedir tokoh revolusi di Malaka diceritakan berasal dari Cirebon. Oleh pelancong Portugis ini Cirebon ditulis Cherimon. Selain penghasil kayu terbaik dibanding  semua tempat di Jawa, Cirebon yang terletak  tiga leagua dekat sungai ini merupakan penghasil beras dalam jumlah besar. Disini Pires tidak menyebut Cirebon sebagai produsen utama komoditas terasi atau pun bahan terasi rebon. Catatan perjalanan  sebelum 1515 ini juga menceritakan tentang amuk atau amocos sebagai tradisi kaum pria Jawa dalam menjaga kehormatan diri.

2)  Sejumlah atlas kuno seperti  Peta Dunia Diogo Ribeiro tahun 1529, Globe dari Ger Mertacor dicetak di Leuven 1541, Petunjuk Pelaut Diogo Homen tahun 1558 dan sadurannya  pada 1568 menyebut Cirebon dengan  Charbon atau Charabom

3) Catatan perjalanan pertama orang-orang Belanda pimpinan Cornelis De Houtman 1596 menyebut Cirebon sebagai kota yang indah diperkuat tembok besar dan sebatang sungai air tawar. Tembok besar dibangun oleh Senopati Mataram untuk Panembahan  Ratu pada 1590. Mereka menyebut kota ini Cheribon

5) Catatan harian atau  daftar harian  VOC Dagh Register  yang dibuat antara 1624 - 1682 atas perintah Dewan Gubernur VOC yang  dijuluki  De Heren Zeventien (Tuan Tujuh Belas) menyebut Cirebon dengan Cheribon atau Cherbon

6) Perjanjian Sultan-Sultan Pertama Cirebon Dengan VOC  7 Januari 1681, 4 Desember 1685, dan September 1688 yang dituangkan dalam bahasa Belanda dan Cirebon menulis Cheribon atau Cherbon.

7)  Riwayat-riwayat Kesultanan Banten yang memiliki kedekatan historis dengan Kesultanan Cirebon tidak pernah menyinggung istilah Caruban untuk menyebut Kerajaan Cirebon. Kronika seperti Sejaran Banten, Sejarah Banten Rante ataupun Hikayat Hasanuddin yang diperkirakan ditulis tahun 1662 shingga awal 1700an selalu menggunakan istilah Pakungwati, Cirebon atau Garage untuk menyebut Kerajaan Cirebon.

8) Pangeran Aria Cirebon Pengawas Bupati Priangan 1706 - 1723 pada surat-surat resmi pemerintahan hampir selalu menggunakan kata Chiribon atau Cheribon. Dan sebagai Pejabat Gubernur Priangan pun dia tidak pernah memakai sebutan lain  untuk dirinya semisal Pangeran Aria Caruban.

9) Naskah yang disusun Demang Cirebon  Wangsa Manggala dan Demang Cirebon Girang Tirta Manggala Tahun 1779 memakai judul Pustaka Pakungwati Cirebon

10) Babad Cirebon kololeksi naskah kuno Kraton Kasepuhan Cirebon selalu menyebut Kerajaan Cirebon sebagai Pakungwati atau Carbon dan  tak satupun menggunakan istilah Caruban

11) Pemerintah Kolonial Belanda, Perancis (Daendels), dan Inggris (Raffles) pada  surat-surat resmi  mereka konsisten menggunakan sebutan Cheribon, Cherbon, Chiribon atau Cirebon. Demikian juga surat Dipati Natadireja kepada Daendels Juli 1808 menggunakan sebutan Cirebon.

12) The History of Java yang disusun Thomas Stamford Raffles antara1815 menulis Cirebon dengan Cheribon

    Dari awal  sejarah  hingga masa kolonial dan era kemerdekaan hampir tidak ditemukan penggunaan Caruban apalagi Caruban Nagari untuk menyebut Kerajaan atau Negeri Cirebon. Begitu pula riwayat lokal yang muncul pada medio hingga akhir abad 19 tidak terindikasi penggunaan Caruban dalam konteks Negeri atau Kawasan. Sejarah Peteng Sejarah Rante Martabat Tembung Wali mengadopsi istilah Cerebon disamping Carbon dan Cirebon. Kitab  Sejarah  Cirebon Naskah Kraton Kacirebonan memilih Crebon disamping Cirebon. Demikian juga Babad Cirebon Naskah Tangkil dan Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah (Naskah Kuningan) menggunakan Cirebon dan Carbon. Pada dua naskah terakhir memang muncul Caruban tapi dalam arti bercampur baur sebagai kata kerja bukan untuk menyebut nama kerajaan. Baru di tahun 1983 Unang Sunardjo penulis Kerajaan Cirebon 1479-1809 yang secara ekspisit beberapa kali menyebut Caruban sebagai nama negeri. Selebihnya Sunardjo tetap menggunakan Cirebon atau Carbon.

Secara morfologis Chiribon, Cheribon, Cerbon, Cherbon, Crebon dan Cerebon memiliki asal usul huruf dan bunyi seintonasi dengan Cirebon bukan Caruban. Penulisan sejarah dengan huruf Pegon atau Arab seperti Ahlan Musamarah fi Hikayah al-Aulia al Asyaroh karya Abul Fadhol Senori dan Abdullah Al-misri penulis kitab  Bayan al-Asma, Arsy al-Mulk dan Hikayat Mareskalek tidak membuang huruf wau setelah ba sebelum nun untuk menyebut Cirebon.

MC Ricklefs penulis Sejarah Indonesia Modern  1200-2008 punya alasan sendiri menyangsikan Purwaka Caruban Nagari sebagai produk 1720. Selain banyak memakai tahun Masehi, peneliti Australia ini menilai Caruban Nagari cenderung bertutur dengan bahasa yang dikuno-kunokan. Suatu kritik yang sama oleh banyak sejarawan Indonesia terhadap kitab Nagara Kreta Bhumi yang dinisbatkan sebagai karya Wangsakerta. Kebetulan Purwaka Caruban Nagari dan Naskah Wangsakerta dikenalkan oleh tokoh yang sama yakni  Drs Atja  seorang Kepala Musium Jawa Barat Pertama kelahiran Sumedang. Caruban yang berarti campuran atau aneka rona isi  cerita pada karya sastra dan sejarah seperti Purwaka Caruban Nagari, Caruban Kawedar, Carub Kandha dikelirukan sebagai nama Kerajaan atau Negeri Cirebon. Namun begitu tulisan ini  mencukupkan pandangan untuk kita agar mengeja atau meninjau ulang penyebutan Caruban Nagari untuk menamai Negeri Cirebon agar tidak terjadi  disinformasi sejarah. Bukankah keraton terakhir yang dibangun di Cirebon pun dinamai Keraton Kacirebonan bukan  Kacarubanan. (wallahu a'lam)

Sumber Bacaan

(1) Monique Zaini-Lajoubert, Karya Lengkap Abdullah Almisri, Jakrta, Ecole Francaise d'Extreme-Orient, Jakarta, Komunitas Bambu, 2008. (2) Armando Cortesao,Suma Oriental, Ombak, Yogyakarta, 2015. (3) Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam Di Tatar Sunda, Bandung, Pustaka, 1995. (4) Unang Sunardjo, Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung, Tarsito, 1983. (5) M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,  Jakarta, Serambi, 2017. (6) Hoesein Djadjadiningrat, Tinjauaan Kritis Tentang Sejarah Banten, Jakarta, Jambatan, 1983. (7) Budi Santoso (ed), Sisi Senyap Politik Bising, Yogyakarta, Kanisius 2007. (8) Ahmad Dahlan,  Sejarah Melayu, Jakarta,  Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2015.  (9) Hendrik E Niemeijer, Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII,  Jakarta, Masup Jakarta, 2012. (10) HJ. De Graaf dan TH Pigeud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta, Grafitti, 2003. (11) Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, Jakarta, Wedatama Widya Sastra, 2015. (12) Edi S Ekadjati, Polemik Naskah Wangsakerta, Bandung, Dunia Pustaka Jaya, 2017. (13) Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Yogyakarta, Narasi, 2008. (14) Nina Lubis Dkk, Sejarah Tatar Sunda (1), Bandung, Lembaga Penelitian Unpad, Satya Historika, 2003. (15) Jan Vansina, Tradisi Lisan Sebagai Sejarah, Yogyakarta, Ombak, 2019. (16) Sanusi Pane, Sejarah Nusantara, Bandung, Sega Arsy, 2018. (17) Uka Tjandrasasmita,  Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2009. (18) Henri Chambert-Loir, Naik Haji Di Masa Silam 1482-1890,  Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2013. (19) Bambang Irianto dan Ki tarka Sutarahardja, Sejarah Cirebon Naskah Keraton Kacirebonan, Cirebon, Rumah Budaya  Nusantara Pasambangan Jati Cirebon, 2013 (20) Mohamad Muhtar Zaedin, Sariat Arifia dan Ki Tarka Sutarahardja, Sejarah Peteng Sejarah Rante Martabat Tembung Wali, Cirebon, Rumah Budaya Nusantara Pasambangan Jati Cirebon, 2020. (21) Ki Kampah, Babad Cirebon Carub Kanda Naskah Tangkil, Cirebon, Rumah  Budaya Nusantara Pesambangan Jati 2013. (22) Tendi, Penjanjian Dan Kontrak Sultan-Sultan Pertama Cirebon Dengan Pemerintah Agung VOC, Cirebon, Pamanah Rasa Istitute, 2021 (23) Abul Fadhol Senori, Ahlal Musamarah fi Hikayah al-Auliya al-Asyaroh,  Kediri, Nous Pustaka Utama, 2020 (24) Sulaiman Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, Cirebon 1984. (25) Raden Teja Subrata, Sejarah Carruban Kawedar, Cirebon, Badan Komunikasi, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2008. (26) E Rokajat Asuro, Suluk Gunung Jati Novel Perjalanan Rohani Syekh Syarief Hidayatullah, Depok, Imania, 2016


Posting Komentar untuk "CIREBON BUKAN CARUBAN NAGARI, KERAJAAN DI TATAR SUNDA (2)"