|
Astana Giri Amparan Gebang |
Dalam sejarah Pakungwati, Gebang yang terletak antara Cirebon dan Losari merupakan
kerajaan bercorak kepangeranan. Gebang juga disebut sebagai wilayah kesutajayaan karena
banyaknya tokoh yang kemudian disebut Sutajaya seperti Sutajaya Wira Upas, Sutajaya Alas
(Roban), Sutajaya Tambak, Sutajaya Mademung, Sutajaya Dalem Kiban dan
lain-lain.
Berdasarkan
catatan Tome Pires dalam Suma Oriental, awal abad 16 Gebang masuk dalam kawasan
Negeri Japura yang berpenduduk 2.000 cacah dua kali lebih banyak dari Cirebon dengan
1.000 jiwa. Di Era Ki Supetak atau
Tubagus Pase Gebang diserahkan kepada menantunya yakni Pangeran Dipati Carbon.
Selanjutnya pada masa Panembahan Ratu dan putranya Pangeran Wira Dipati Anom
atau sejak tahun 1632 wilayah Pakungwati diluaskan hingga keTugu dekat Semarang (Thomas Stamford Raffles, The
History Of Java). Pangeran Wira Dipati Anom inilah yang meletakkan dasar bagi
terbangunnya Kepangeranan Gebang menjadi wilayah mandiri terpisah dari Cirebon,
selaras dengan perkembangan di Mataram, Banten dan VOC. Tahun 1689 Pangeran Sutajaya
menandatangani perjanjian dengan Kompeni dan menjadikan Gebang sebagai Keemiran
atau Kepangeranan tersendiri.
Meskipun
banyak diriwayatkan sumber tradisional, sejarah Kepangeranan Gebang umumnya bercorak babad
atau cerita rakyat yang tidak utuh sehingga perlu pengkajian dengan memanfatkan beragam sumber dan corak yang
berbeda dari babad. Sementara itu versi sejarah
yang memiliki rujukan data dari era Cirebon, Banten, Mataram ataupun Kolonial cenderung
dipahami dalam persepsi sebagaimana
konteks babad. Antara lain menumpukkan sejarah Kepangeranan atau Keemiran
Gebang semata pada penamaan Sutajaya dan Wirasuta dalam rangkaian nasab, atau
mengaitkannya hanya pada periodisasi tersebut. Padahal sosok Wirasuta saja dalam versi
babad kadang disebut putra dari istri selir Pangeran Dipati Carbon lahir 1550, atau terkadang disebut juga sebagai putra Pangeran Pasarean
yang lahir 1525 sebagaimana dicatat Unang Sunardjo dalam Kerajaan Cerbon 1479-1809 mengutip Purwaka Caruban Nagari.
Ki
Supetak Sang Pendiri Gebang
Nama ini
tidak banyak ditulis dalam riwayat atau
babad Cirebon, namun satu naskah dari Keprabonan
mencatat Ki Supetak sebagai perintis awal Gebang (Sejarah Asal-susul
Kaseltanan Cirebon, Muhtar Zaedin). Petak merupakan sebutan untuk Negeri Pasai kampung kelahiran Ki Supethak. Tome Pires
saat menceritakan negeri Japura
mengidentifikasi syahbandar Losari
sebagai Pate Codia satu periode dengan Pate Qedir salah satu pemimpin
Cirebon saat itu. Besar kemungkinan Pate Codia adalah sebutan lain Ki Supethak
yang kelak dikenal sebagai Tubagus Pasai. Codia merupakan pelafalan Portugis untuk Khoja suatu gelar yang lazim digunakan masyarakat
berbudaya Persia. Khoja yang waktu itu cukup dikenal adalah Khoja
Hasan bin Maulana Qodi Ibrahim Panglima Angkatan Laut Kesultanan Malaka asal Pasai
yang juga mempimpin pertempuran melawan Portugis 1511 (Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, 2015)
Setelah
Malaka direbut Portugis dan kedudukannya digantikan Laksamana Hang Nadim putra
Hang Jebat, Khoja Hasan bergabung dengan Demak bertugas di negeri Japura yang
membawahi wilayah Pulo Goseng (Gebang) dan dan Bandar Losari. Khoja Hasan
kemudian lebih dikenal sebagai Tubagus Pase dan menikah dengan Ratu Winahon salah satu putri Sunan
Pakungwati. Dari
pernikahan ini Bagus Pase berputra
1.Ratu Raja Wanawati Raras
Menikah dengan Pangeran Dipati Carbon antara lain menurunkan Panembahan
Ratu Cirebon
2.Pangeran Gede atau Pangeran Pekik
Menikah dengan salah satu putri Panembahan Sabakingking Banten. Saat
lanjut usia Pangeran Gede disebut Dalem Aria Carbon. Putra-putri
Pangeran Gede antara lain (1) Ratu Pembayun yang menikah dengan Panembahan Ratu menurunkan Pangeran Wira Dipati Anom Sedang
Gayam dan Ratu Rana Manggala (2) Pangeran Pamade menikah dengan Putri Ratu
Kagaluan menurunkan Pangeran Cigobang dan Ratu Dipati yang menikah dengan
Pangeran Wira Dipati Anom. Pangeran Pamade
dan Pangeran Cigobang tinggal dan wafat
di Gebang. (3) Ratu Nagara Gung menikah dengan Maulana Muhammad Banten (4) Pangeran
Sebrang Wetan dan (5) Ratu Raja Dewi
3. Ratu Raja Gung
Menikah dengan Pangeran Mas Juru putra Pangeran Aria Pangiri Dipati Demak
menurunkan Ratu Kencana yang menikah dengan Pangeran Kamiran. Ratu Kencana dan
Pangeran Kamiran menurunkan putri Ratu Supe yang menikah dengan Pangeran Alas
(Santri Pagebangan). Perkawinan Pangeran Alas dan Putri Pangeran Kamiran berputra Pangeran Pakis Kamiran alias Pangeran Pakis Tamping
Joharuddin.
4. Ratu Salu Wetan menikah dengan
Pangeran Kumendung Jaya Jakatra
Gebang Era
Panembahan Ratu dan Pangeran Wira Dipati Anom Sedang Gayam
Pada masa Panembahan
Ratu wilayah Pakungwati meliputi Cirebon Girang, Cirebon Larang dan Gebang yang
telah digabungkan sebelumnya oleh Pangeran Dipati Carbon menyusul pernikahannya
dengan Ratu Wanawati Raras putri Tubagus Pasai. Periode Panembahan Ratu ditandai
kebangkitan kekuasaan Mataram di bawah
Sultan Agung dan kehadiran bangsa Eropa terutama Belanda. Di sisi lain Banten makin menunjukkan kiprahnya di kancah
regional dan internasional.
Diantara
persaingan dan persekutuan tiga kekuatan tersebut Panembahan Ratu mampu memposisikan
sebagai figur yang tetap dihormati. Selain dianggap guru oleh Mataram dan famili
bagi Banten, Panembahan Ratu Pakungwati kerap menjadi sandaran mediasi
kepentingan dan mencegah konflik terbuka tiga kekuatan tersebut. Antara
1632-1634 misalnya Brouwer sebagai Gubernur Jenderal VOC yang baru menjabat
mengirimkan pesan perdamaian untuk Mataram melalui Panembahan Ratu. Begitu pula
sebelumnya, selama musim kemarau 1625 Panembahan Ratu menerima utusan Banten
atas permintaan Mataram untuk melakukan negosiasi di tengah desas desus
serangan Mataram ke Banten ( De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, 2002).
Di Era Panembahan Pakungwati yang oleh catatan Belanda
sering disebut Raja Sepuh tampil pula
putranya Raja Anom. Pasca Perang Mataram-Batavia seperti tertuang dalam Daghregister
13 Mei 1631, Raja Anom Cirebon diminta Sultan Agung untuk menyelesaikan
konlik bersenjata dengan Dipati Ukur. Permintaan penguasa Mataram disertai ancaman akan membunuh 100 budak
belian Cirebon di Mataram jika raja Anom menolak penugasan ini. Bersama Singaranu yang mengepung Ukur dan
Sumedang dari Citarum, Raja Anom mengkonsolidasi pasukan di sekitar Cimanuk
sebelah timur Sumedang. Atas kebarhasilannya Sultan Agung menyerahkan
wilayah sebelah timur Sungai Losari hingga Tugu untuk Raja Anom yang memiliki
nama anumerta Pangeran Dipati Sedang Gayam.
Wilayah antara Cisanggarung dan Tugu sebelumnya di bawah kekuasaan
Pangeran Mas Juru Dipati Demak yang terintegrasi dengan Mataram. Pangeran Mas
Juru masih tergolong paman sepuh Pangeran Dipati Sedang Gayam dari neneknya
yakni Ratu Wanawati Raras putri Bagus Pase. Putra Pangeran Aria Pangiri ini
bergabung dengan Senopati Mataram setelah meninggalkan Banten melalui Jakarta
sekira tahun 1604.
Rijklop van
Goens yang lima kali mengunjungi Mataram antara 1648-1654 atau sebelum
menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC 1678-1681 seperti diceritakan Sejarah
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
mencatat, Pangeran Cirebon
membawahi sekira 100.000 prajurit dua kali lebih besar dari tentara Pangeran Purbaya dan pangeran Surabaya
masing-masing 50.000 serdadu. Atas kedudukan ini Raja Anom Cirebon digelari dengan
Pangeran Wira Dipati Anom. Masalah ini disinggung pula oleh penulis Perancis Claude Guilot dalam Banten; Sejarah dan Peradaban
Abad X -XVII.
Sepeninggal
Panembahan Ratu daerah yang semula di bawah Pangeran Wira Dipati Anom terutama Losari
hingga Kendal, oleh Amangkurat I diambil kembali untuk Kiai Wirasetia di bawah
administrasi Tumenggung Martanata. Kejadian ini yang digambarkan
cerita rakyat sebagai penyebab peperangan
antara Mataram dan Cirebon. Raffles mencatat peristiwa ini tahun 1642. Angka ini 5 Tahun lebih awal dari kejadian sebenarnya. Puncak peperangan Mataram Cirebon di Alas Roban melambungkan tokoh Pangeran Sutajaya Alas dan Aria Salingsingan disamping Sutajaya Wira Upas.(bersambung).
Posting Komentar untuk "KEPANGERANAN GEBANG KESUTAJAYAAN DALAM DINASTI PAKUNGWATI (1)"