Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KEPANGERANAN GEBANG KESUTAJAYAAN DALAM DINASTI PAKUNGWATI (2)

Pohon Gebang
Pohon Gebang

    Cerita rakyat dan babad menggambarkan keunggulan pasukan Pakungwati disebabkan kekuatan mistis sejumlah penglima seperti Sutajaya Alas, Aria Salingsingan, Aria Jagasatru alias Dipati Ukur Anom dan Pangeran Sutajaya Wira Upas. Namun jika mendasarkan pada catatan Rijcklof van Goens bisa saja hal itu karena didukung besarnya semangat dan jumlah pasukan. Terlebih jika peristiwa ini dikaitkan dengan insiden pengusiran Permaisuri Mataram Asal Cirebon, dan konflik internal  Amangkurat I dan saudaranya Pangeran Alit. Angka seratus ribu pasukan Pangeran Cirebon yang dicatat Gubernur Jenderal VOC 1678-1681 lebih mudah dipahami sebagai potensi kekuatan yang bisa digerakkan menghadapi peperangan bukan pengertian setara jumlah delapan atau sembilan divisi pasukan reguler. Dengan proporsi penduduk sulit diasumsikan Cirebon memiliki pasukan sebanyak itu. Sebelumnya memang atas permintaan Sultan Agung Mataram di bawah Pangeran Wira Dipati Anom dan beberapa penguasa pesisir utara lainnya penduduk Jawa dimobilisasi untuk membendung kekuatan kompeni dari sebelah timur sungai Citarum.

Pangeran Gebang dan Pangeran Wira Dipati Anom
    Nama Pangeran Gebang banyak disebut oleh sumber Eropa terutama Belanda seperti Catatan Harian VOC Daghregister, Surat-surat Korespondensi antara Kompeni dan Penguasa Nusantara Overgekome Brieven en  Papieren, dan Memorie van Overgave semacam catatan tinggalan pejabat lama untuk pejabat penggantinya. Bahkan arsivaris Belanda F de Haan mengumpulkan berbagai informasi tentang Pangeran Gebang dalam karya Priangan III. Begitu pula Sejarawan Indonesia Titik Pudjiastuti, Edi S Ekajati dan Hoesein Djajadiningrat telah menyumbangkan simpulan berharga bagi sejarah tentang sosok yang pernah menjadi Perdana Menteri Banten era setelah Sultan Maulana Muhammad ini.
    Belakangan terutama setelah terbit Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten Hoesein Djajadiningrat (1983) dan Surat-surat Sultan Banten karya Titik Pudjiastuti (2007), sebagian peminat sejarah  mengkait-asumsikan Pangeran Gebang dengan nama Pangeran Wirasuta. Babad Cirebon meriwayatkan Wirasuta sebagai putra dari selir Pangeran Dipati Cirebon kelahiran 1550, tetapi terkadang ditulis sebagai putra Pangeran Pasarean lahir 1525.
    Pangeran Gebang lahir sekitar 1575-78. Angka ini menjadi satu petunjuk Pangeran Gebang berbeda sosok dari Wirasuta yang lahir 1550 atau bahkan 1525 (Unang Sunardjo, Kerajaan Cerbon 1479-1809, Bandung, 1983). Menikah dengan Ratu Winaon putri Maulana Yusuf dan menjabat Perdana Menteri Jero Banten didampingi Tumenggung Anggabaya atau An Gobay Perdana Menteri Jaba.
    Berdasarkan peta Banten 1596 yang diterbitkan D'eerste Boeck, istananya terletak di Barat Laut kota berbenteng yang kemudian disebut Pagebangan, merujuk pada namanya. Ragam Pusaka Budaya Banten terbitan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang melaporkan, kawasan  Banten Lama lazim menggunakan nama tokoh yang tinggal di daerah tersebut.  Kaloran kawasan tempat tinggal Pangeran Lor, Kawangsan kampung tempat tinggal Pangeran Wangsa, Kawiragunan pemukiman Pangeran Wiraguna dan Kapurban kawasan tinggal Pangeran Purba. Begitupun Pagebangan daerah tinggal Pangeran Gebang. Hal ini berbeda dengan sinyalemen bahwa disebut Pangeran Gebang karena tinggal di istana yang dihiasi Pohon Gebang.
    Sumber tradisional Banten tidak menulis Pangeran Gebang sebagai Wirasuta baik dalam sebutan atau gelar. Claude Guillot mempersamakan dengan Pangeran Upapatih. Hoesein Djajadiningrat menanggapi kesaksian Edmund Scot mengidentifikasi Pangeran Gebang saudara laki-laki Rana Manggala yang diperjelas F de Haan sebagai kaka ipar. Hubungan  ini dapat dirunut karena Rana Manggala menikahi putri Panembahan Ratu Cirebon, dengan demikian ipar bagi Pangeran Gebang.
     Pasca perjanjian Banten-VOC mengenai Batavia tahun 1619 Pangeran Gebang meninggalkan Banten bergabung dengan Sang Ayah Panembahan Ratu Pakungwati.dan memimpin wilayah Timur Cirebon yakni kawasan Pagebangan. Titik Pudjiastuti penulis Perang,Dagang, Persahabatan; Surat-surat Sultan Banten mendokumentasikan 19 Surat Bangsawan Banten, enam diantaranya milik Pangeran Gebang. Sejak itu sumber Belanda, Banten dan Mataram mencatat nama Raja Sepuh Pakungwati (Panembahan Ratu) dan putranya Raja Anom (Pangeran Wira Dipati Anom). Kediamannya tidak lagi tercantum dalam peta kota Banten yang diterbitkan 1630.

Periode Sebelum dan Sesudah 1689
    Sepeninggal Panembahan Girilaya terjadi polarisasi baru kekuasaan di Pakungwati seperti juga di Mataram dan Banten. Friksi terbuka antar bangsawan dan intervensi lebih jauh kompeni ke dalam lingkungan kekuasaan Cirebon mendorong sejumlah putra Panembahan Girilaya.antara lain Pangeran Alas Ardisela mempertahankan wilayah Pakungwati terutama  Cirebon Girang dan Pagebangan agar tidak dikooptasi Mataram ataupun Kompeni. Gelar Alas yang disematkan semacam tanda bahwa pangeran ini memiliki 'jatah' wilayah tersendiri di bawah kekuasaannya. Saat ini jejak Pangeran Alas dapat ditelusuri  dari Mundu dan Japura di pantai Utara atau di kawasan  Simandung Cirebon Girang, Luragung dan sekitarnya
    Menurut J Noorduyn penulis Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa (2019), dan Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (2015), kata Alas yang mulanya berarti hutan dalam teks Sunda kuno dan teks lama menunjukkan satuan wilayah. Di zaman itu ketika dinyatakan membagi Alas artinya membagi wilayah. Alas Gebang artinya wilayah bagian dari Alas Pakungwati. Tokoh pemilik Alas biasa disebut Pangeran Wijaya atau Pangeran Sutawijaya. Seperti Pangeran Sutawijaya pendiri Mataram setelah mendapatkan Alas Mentaok dan Raden Wijaya pendiri Majapahit setelah mendapat Alas Tarik. Begitupun Pangeran Alas Kajoran dan Pangeran Macan Alas Sampang Madura masing-masing disebut Rangga Sutajaya dan Pangeran Sutajaya. Suta Wijaya atau Sutajaya berarti pula sebutan untuk tokoh yang membangun kekuasaan baru di wilayah tertentu.
    Periode tahun1689 tampil Pangeran Sutajaya Gebang yang membuat perjanjian protektorat dengan Kompeni membentuk Kepangeranan tersendiri. Delapan tahun sebelumnya Kanoman, Kasepuhan dan Kapanembahan Cirebon membuat perjanjian sejenis dengan VOC. Wilayah Kepangeranan Gebang ditetapkan dari pantai Utara Gebang sampai ke Cijulang di Laut Selatan. Pangeran Sutajaya sering diduga sebagai putra Wirasuta, namun jika dilihat  periode kelahiran keduanya yang terpaut satu abad lebih sulit diasumsikan bahwa Sutajaya adalah putra Wirasuta. Pangeran Sutajaya memerintah hingga wafatnya Nopember 1706 dan digantikan putranya yang menggunakan nama jabatan Pangeran Ngabei Sutajaya.hingga dilanjutkan oleh Pangeran Nata Kusuma. (Budi Susanto, Sisi Senyap Poluitik Bising,  2007). 
    Setelah Nata Kusuma silih berganti beberapa pemimpin Kepangeranan Gebang hingga penghancurannya oleh Daendels awal abad 19. Era Raffles kekuasaan Gebang dipecah dan diubah menjadi distrik dibarengi dengan penyerahan sebagian wilayah Gebang kepada Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan (Edi S Ekajati, Sejarah Kuningan Dari Masa Prasejarah Hingga Terbentuknya Kabupaten, 2003). 
     Penghancuran Kepangeranan Gebang dilatari terutama karena masyarakat dan pemimpin dari wilayah ini selalu bergolak menentang kolonialialisme. Sejarah mencatat beberapa putra Pangeran Brata Nata Kusuma seperti Pangeran Arungan atau Arangin (Gebang) dan putranya Pangeran Nur Alim alias Nur Jalin, Pangeran Ardisela atau Brata Kusuma (Sindang Laut) dan Pangeran Bratanata Herban (Jati Tujuh) bersama tokoh antara lain Buyut Muji, Mbah Muqoyyim, Sidung atau Abdurrahman alias Draham dan Arisim menjadi penggerak perlawanan terhadap kesemana-menaan  di Tatar Pakungwati. Pangeran Brata Nata Kusuma adalah cucu Pangeran Suta Angkara Alias Suta Winata Manggala keturunan Panembahan Girilaya dari jalur Pangeran Alas Ardisela.(WAS)

Posting Komentar untuk "KEPANGERANAN GEBANG KESUTAJAYAAN DALAM DINASTI PAKUNGWATI (2)"