Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PAKUAN DAN PAKUNGWATI DALAM HISTORIOGRAFI SUNDA, CIREBON DAN BANTEN (1)

mengejaulangsejarah
Gerbang Menuju Dalem Pakungwati

Pakuan dan Pakungwati dua istilah yang populer pada masyarakat Cirebon, Jawa Barat dan Banten khususnnya pemerhati sejarah dan budaya Sunda. Masyarakat kawasan yang di masa lalu disebut Galuh juga menganggap Pakuan bagian dari sejarah kebudayaan mereka. Meskipun demikian kata Pakuan hingga saat ini dianggap belum sepenuhnya terdefinisi secara final. Masih muncul pertanyaan apakah Pakuan sesungguhnya nama kerajaan atau sebatas sebutan umum bagi kota praja dimana pemerintahan suatu kerajaan berlokasi. Sejauh ini masih banyak penelitian mencoba mendapatkan pengertian dan makna yang tepat pada istilah tersebut.

MENGEJA ULANG SEJARAH kali ini mencoba memetakan pemakaian kata Pakuan dan Pakungwati dalam konteksnya sesuai periode pemaknaan yang dijumpai pada sejumlah sumber penulisan sejarah

Mengeja Istilah Mendalami Pengertian

Pakungwati selama ini identik sebagai kerajaan yang dibangun oleh Mbah Kuwu Pangeran Cakra Buana yang kelak menjadi Kesultanan Cirebon. Panembahan Ratu dan Panembahan Giri Laya digelari Panembahan Pakungwati. Keraton atau tempat tinggal Raja disebut Dalem Pakungwati. Demikian pula putri Pangeran Cakrabuana yang menjadi istri Sunan Gunung Jati  dikenal sebagai Ratu Dewi Pakungwati. Jadi hampir dapat dipastikan bahwa Pakungwati adalah sebutan lain bagi kerajaan Cirebon di era sebelum Kesultanan Kasepuhan-Kanoman.

Secara morfologis Pakungwati menunjukkan bentuk feminim (perempuan) dari Pakuwan. Sedangkan Pakungja bentuk maskulin (laki-laki) yang merupakan pemendekan dari PakungJa(go). Pangeran Dipati Carbon penguasa setelah Panembahan Pasarean bin Sunan Gunung Jati disebut Pangeran Dipati Pakungja atau kadang ditulis Pangeran Dipati Pakuan saja tanpa tambahan Ja.

Adapun Pakuan sering dikaitkan dengan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Pusat pemerintahan Kerajaan Banten  di Surosowan juga dikenal sebagai Pakuwan atau Pakuan. Sesungguhnya penggunaan kata Pakuan ini sudah dilakukan sejak era Galuh dan Sunda sebelum periode Cirebon-Banten seperti nampak pada sejumlah prasasti antara lain Prasasti Hulu Dayeuh Cikalahang Cirebon. Sebagai kosakata, Pakuan pernah menjadi semacam fokus kajian inskripsi Prasasti Batu Tulis Bogor yang ditemukan dalam eskpedisi pejabat kompeni Scipio di tahun 1687.

Sejumlah riwayat Kesultanan Cirebon dan Banten terutama pada naskah-naskah dari abad 17 seperti  Hikayat Hasanuddin dan Sejarah Banten Rante-Rante secara simultan menyebut Pakungwati untuk Cirebon dan Pakuan berkaitan dengan Banten. Penguasa Cirebon sejak Sunan Gunung Jati hingga Panembahan Girilaya digelari Panembahan Pakungwati. Teks Sejarah Banten dan Terjemahan yg disunting dengan kode Teks G (LOr 7389) oleh Dr Titik Pudjiastuti dalam Menyusuri Jejak Kesultanan Banten menjelaskan:

"Panembahan lami alinggih Pakuwan ngantos ngumpul ireki sakehing ponggawa kang durung taluk ika, mangos ingandikan sami, prapta sadaya muwah sakehing parayayi" (XXI. Pupuh Durma 14)

Panembahan lama bertahta di Pakuan, sampai ia berkumpul dengan semua ponggawa yang belum takluk, maka semua dinasehati, semua datang, juga semua bangsawan.

"Mangka panembahan kalayan kang putra sami ming Paku(ng)wati, kang kocap ming marga, aglis Teks sang nata, wus mapag ing gunung jati wus lilinggiyan, para putu ngunjungi" (XXI Pupuh Durma 19)

Sekarang Panembahan dan Putranya mereka berdua ke Paku(ng)wati, tidak diceritakan di jalan segera tiba baginda di Gunung Jati sudah duduk mereka, para cucu menghampirinya.

Panembahan pada pupuh di atas adalah Sunan Gunung Jat,i sedangkan Sang Putra yang dimaksud adalah Maulana Hasanuddin yang kemudian menjadi Penguasa Banten menggantikan ayahnya. Penyebutan Panembahan Pakungwati untuk Raja Cirebon generasi selanjutnya yakni Panembahan Adi Kusuma alias Panembahan Girilaya tersurat pada sejumlah fragmen riwayat seperti dialog kedua petinggi kerajaan menjelang peristiwa Pacarebon  yakni insiden bersenjata antara Banten dan Cirebon karena provokasi Tumenggung Singaranu Mataram.

Berkenaan peristiwa Pacarebon Prof Husein Djayadiningrat dalam Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten menyebutkan  bahwa Sultan Mataram memerintah seluruh Jawa mulai dari Blambangan hingga Karawang. Hanya Surosowan yang masih berdiri sendiri. Seluruh Raja dan Dipati menngaturkan sembah pada Mataram Kecuali Panembahan Pakungwati (Cirebon) karena Sang Panembahan adalah guru bagi Susuhunan Mataram.

Sebutan Pakuwan atau Pakuan untuk ibukota Surosowan tersajikan pada sejumlah cerita seperti dalam konflik Pailir dimana kubu pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Kulon membidikkan meriam ke arah Pakuan (Surosoran) Ibukota Banten. Jauh sebelum koflik Pailir pun ketika Sunan Gunungjati dan Maulana Hasanuddin menginjakkan kaki di Banten terlebih dahulu mendatangi kawasan Pulosari yang disebutnya juga sebagai Pakuwan.

Gelar raja Cirebon sebagai Panembahan atau Pangeran Pakungwati banyak dijumpai dalam naskah koleksi Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan maupun Peguron Kaprabonan. Bahkan terdapat juga pada naskah Mataraman Islam dan catatan Kompeni Belanda. Riwayat versi Mataram umumnya menyebut rakyat dan tentara Cirebon dengan sebutan wadyabala Pakungwati. Penyebutanan Pakungwati oleh versi Banten, Cirebon dan Mataram menunjukan pengertian dan pembeda diantara ketiga kerajaan di masa itu.


mengejaulangsejarah
Situs Dalem Pakungwati

Kosakata Serapan Tradisi Galuh dan Sunda

Secara etimologis Pakungwati berakar kata dari Pakuwwan atau Pakuan yang merupakan kata bentukan dari awalan (Pa) Kuwu dan akhiran (an) atau Pa-kuwu-an . Kuwu atau Akuwu merupakan sebutan untuk pemegang otoritas pemerintahan saat itu. Dalam tradisi masyarakat Cirebon founding father Kerajaan disebut Mbah Kuwu yang bermakna Grand Kuwu.

Penggunaan kata serapan kuwu bisa saja karena pengaruh tradisi Jawa Timur hususnya Kediri dan Singosari, dimana penguasa mereka disebut Akuwwu. Pengaruh ini terutama berasal dari periode Sri Jaya Bupati yang meninggalkan jejak berupa prasasti di Sukabumi dan Banten .Kata Pakungwati dalam tradisi Cirebon juga berakar dari tradisi yang sama melalui jalur Galuh di Kawali. Sejarah juga mencatat bahwa Pakungwati (Cirebon) sesunggunya pelanjut kekuasaan Galuh melalui Pangeran Cakrabuana sebagaimana Banten pelanjut Kekuasaan Sunda malalui Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanuddin.

Menurut Sartono Kartodirdjo dalam  Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, penduduk Jawa abad 14 terklasifikasi dalam tiga golongan (1) Akuwu dan Anden, (2) Rama golongan petani bebas yang dikepalai oleh buyut-yang karenanya muncul istilah karamaan dan kabuyutan, (3) Bhertya yakni golongan buruh dan budak. Pendapat Sartono bersesuaian atau bahkan didasarkan pada rekonstruksi struktur masyarakat Jawa yang dipresentasikan Mpu Prapanca dalam karya monumentalnya Nagarakertagama.

Naskah Banten dan Cirebon menggunakan kata Pakuwan untuk kota praja dimana pusat pemerintahan berlokasi, bukansebagai nama kerajaan. Dalam bahasa Sunda, Pakuan  semakna suatu Dayeuh atao Dayo yang membedakannya dari lembur yang berkonotasi kampung tempat tiinggal. Hal itu setidaknya tergambar dari laporan Tome Pires pelancong Portugal yang menyusun Suma Oriental saat menyusuri bagian Barat pulau Jawa. Sementara itu Pakuan ketika disemati kata wati menjadi Pakungwati frasa ini lebih berarti sinonim nama kerajaan yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Cirebon (Bersambung).

Posting Komentar untuk "PAKUAN DAN PAKUNGWATI DALAM HISTORIOGRAFI SUNDA, CIREBON DAN BANTEN (1)"